Hai,
Namaku, Muhammad Alai Salim. Aku tinggal di Amerika Serikat. Aku akan bercerita mengenai ceritaku. Dan tolong, berjanjilah. Jangan menilaiku sebelum kalian selesai membaca. Jangan mengambil kesimpulan apapun sampai kalian selesai. Bahkan, aku akan sangat berterima kasih kalau kalian tidak berpendapat sama sekali.
Saat itu aku berusia 16 tahun. Sekolah adalah masa-masa terburuk dalam hidupku. Di sekolah, aku terus di bully dan dihina oleh kakak kelasku. Bahkan, lama kelamaan teman-temanku juga mengejekku. Aku menangis, takut, tapi juga marah.
Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Mereka hanya menghinaku untuk kesenangan mereka. Mereka tertawa saat aku kesakitan. Mereka bahagia melihatku menderita, dan mereka menyukainya. Aku tidak mengerti, kenapa? Kenapa menyiksa seseorang bisa menjadi begitu menyenangkan?
Ahh... Aku lupa. Aku dan ayahku adalah imigran dari India. Ibuku meninggal sejak aku masih kecil. Di India, ayahku memiliki sebuah kebun binatang yang kemudian dijual karena keadaan ekonomi kami yang memburuk.
Teman ayahku menawarkan sebuah pekerjaan di Amerika. Ayahku langsung menerimanya, dan tiba-tiba aku sudah berada di atas kapal menuju ke Amerika. Besar harapanku bahwa Amerika akan menjadi tempatku. Aku ingin memulai awal yang baru.
Besar harapan ayahku padaku. Aku anak tunggalnya. Akulah harapannya untuk membanggakannya. Dia yang menjagaku sampai sekarang. Aku berusaha sebaikku, tapi Amerika bukanlah India. Semuanya berbeda. Budaya, tradisi, musik, bahkan orang-orangnya.
Kumulai tahun-tahun dalam sekolahku dengan baik. Aku belajar dengan rajin dan mendapat peringkat yang baik di sekolahku. Semua berjalan dengan sangat baik. Nilaiku membuat ayah tersenyum bangga. Tapi, ternyata ada juga yang tidak menyukai prestasiku.
Mereka, orang-orang jahat tanpa perasaan. Menyiksaku, membakar buku-bukuku, menghinaku, menghina ayahku, dan mereka menghancurkan harga diriku. Aku membenci mereka. Berhenti! Aku berteriak. Aku marah, aku lelah.
Lelah menjadi lemah, tidak berdaya melawan mereka. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Ravi.Dia adalah temanku yang terbaik. Dia yang selalu menolongku saat aku di-bully. Dia yang mendengarkan semua keluhan hidupku. Aku sangat percaya dengannya, dia tidak pernah mengkhianatiku. Aku berharap banyak padanya, dan aku harap kami berdua bisa jadi sahabat selamanya.
Suatu saat, Ravi mengajakku untuk pergi main. Ternyata, dia membawaku ke rumahnya. Aku memang pernah bertemu dengan orang tua Ravi, tapi aku belum terlalu mengenal mereka. Di rumah Ravi, aku diajarkan untuk mengenal agamanya. Dia mengenalkanku dengan organisasi ISIS.Awalnya aku ketakutan. Banyak orang yang mengatakan kalau ISIS itu salah, dan jahat. Tapi, Ravi tidak jahat, dan dia adalah anggota ISIS. Ravi bilang, aku tidak akan dikucilkan lagi kalau aku bergabung dengannya dan pergi ke Suriah.
Pada malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku sangat kebingungan.Bagaimana bisa aku meninggalkan Ayah? Tapi, Ayah juga tidak pernah ada untukku. Aku lelah dengan kehidupanku. Aku kesepian, aku tidak mau Ravi pergi. Takut, aku takut sendirian lagi.
Keesokan paginya, aku siap. Aku akan pergi ke Suriah bersama Ravi. Dan benar, siang harinya aku, Ravi, Orangtua Ravi, dan kakak Ravi berangkat ke Suriah.
Sesampainya disana, aku belajar lebih banyak mengenai ISIS. Ravi benar, tidak ada pengucilan, aku tidak lagi di bully. Semuanya berjalan dengan baik sampai mereka mengirim aku dan Ravi ke sebuah negara.
Mereka bilang, warga negara itu rasis, banyak membunuh orang muslim, menghina agama muslim, membenci, saling berperang, dan tidak memiliki kasih. Aku membenci mereka. Mereka juga sempat membunuh temanku. Aku akan membalas mereka! Aku harus menghancurkan mereka.
Tidak ada lagi perang, bully, rasis, dan hinaan! Aku tidak mau kembali ke duniaku yang mengerikan. Aku ingin membawa perbedaan pada dunia. Ravi bilang, dia ingin membuat dunia jadi lebih baik. ISIS telah memberikan tempat untuknya dan keluarganya. ISIS itu baik, mereka mau menghabisi ketidakadilan dunia.
Hari keberangkatanku tiba. Aku berhasil datang ke negara tujuanku. Bersama beberapa temanku, kami siap menegakkan keadilan dunia. Aku menghancurkan semua orang jahat itu! Aku membunuh dan menghabisi mereka semua. Aku tidak peduli siapa mereka. Aku ingin keadilan dan kebebasan. Tidak ada lagi ketidakadilan dan penghinaan. Aku akan mengakhiri semuanya agar tidak ada lagi orang yang menderita sepertiku.
Sejenak aku berhenti mencari Ravi. Aku melihatnya dan menghampirinya. Ada seorang Ibu yang membawa anaknya. Ibu itu menangis dan memohon agar dia diperbolehkan pergi. Ravi malah berteriak dan menghinanya. Aku semakin mendekatinya.
Ravi mengarahkan pistolnya kepada Ibu itu. Ibu itu semakin emnangis dan memohon. Aku mulai berlari, dan berteriak agar Ravi berhenti. Dia melihatku, dia melihat tepat ke arahku. Kupikir dia akan berhenti dan melepaskan Ibu dan anak itu. Tapi sambil tersenyum padaku, dia menembak sang Ibu tepat di kepalanya. Aku berteriak dan menghampirinya.
"Kenapa?! Kenapa kau lakukan itu?!" Aku berteriak dan menatap tepat di matanya. Ravi tersenyum dan berkata "Dia pantas mendapatkannya." "Tapi dia sudah memohon!" Aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi padanya. "Apa kamu mau mengkhianati kami? Kamu membela mereka?!" Belum sempat aku menjawab, Ravi memberikan pistolnya kepadaku. "Ambil, tembak bayi itu. Kalau tidak, kamu adalah pengkhianat!"
Kuarahkan pistolku. Aku melihat bayi itu. Aku melihat matanya yang tidak berdosa, dan lalu dia tersenyum memandangku. Aku melihat Ravi yang memandangku dengan tajam. Aku memejamkan mataku, dan aku menarik pelatuknya. Dor! Satu tembakan dan Ravi terjatuh dengan mata terbuka lebar.
Seketika air mataku mengalir. Habis sudah semuanya. Satu-satunya temanku, sahabatku selamanya, pergi. Aku mengambil bayi itu dan aku berlari. Beberapa teman mencoba memberhentikanku, menanyakan apa yang kulakukan, dan menodongku dengan pistol. Aku tidak lagi ragu menembak. Aku salah! Aku salah! Aku bodoh! Aku terjebak dalam emosi dan dendamku.
Kemana aku harus pergi? Mereka mengejarku dan memanggilku pengkhianat. Aku harus bagaimana? Aku berlari tanpa arah. Aku sama sekali tidak tahu tempat ini. Aku masuk ke dalam sebuah rumah. Ada 3 orang bersembunyi di dalam lemari. Gemetar ketakutan melihatku. Aku berkata agar mereka menjaga bayi itu, dan pergi setelah sang Ibu dari keluarga itu mengambil bayi itu.
Lagi-lagi aku berlari. Mereka mengejarku dan menghujaniku dengan tembakan. Aku tidak bisa laagi berlari, aku tidak kuat lagi melangkah. Tapi mereka terus mendakat. Aku melihat kebelakang dan aku melihat mereka. Aku berbalik dan menembak mereka sebisaku.
Peluru menembus tubuhku. Sakit. Tapi tidak sebanding dengan penyesalanku. Aku terjatuh ke tanah. Aku melihat langit yang biru. Untuk pertama kalinya, dunia terasa hening dan indah. Aku merasa sangat tenang dan damai. Air mataku menetes. Kerinduanku akan kedamaian yang telah lama kutinggalkan. Ayah yang aku kecewakan. Aku rindu ayah... Aku ingin mengulang waktu, tapi aku terlambat dan sekarang semuanya berakhir.
Aku menutup mataku. Kemudian, aku pergi.
Cerita ini hanya fiktif dan sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Untuk kesamaan nama tokoh, tempat atau peristiwa, bukan merupakan kesengajaan. Untuk kesalahan pengetikan dan pemilihan kata, saya minta maaf. Pesan moral ambil sendiri.
Makasih ^-^
0 komentar:
Posting Komentar